LIFE/James Burke Kolonel Dahlan Djambek (paling kiri), Burhanuddin Harahap, pemimpin Dewan Revolusi Ahmad Husein, Mr Sjafruddin Prawiranegara, dan Maludin Simbolon. Foto yang diambil Maret 1958 ini menunjukkan mereka sebagai pemimpin Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) berkedudukan di Bukittinggi, melawan rezim Soekarno.
JAKARTA, KOMPAS.com28 Maret 2011 —
Kiprah tokoh Sjafruddin Prawiranegara yang berperan penting di era Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) kini diangkat ke dalam novel. Penulisnya, Akmal Nasery Basral, menggarapnya dengan judul Presiden Prawiranegara.Akmal, novelis kelahiran Jakarta, 28 April 1968, menekuni dunia jurnalistik selama 16 tahun, di antaranya sebagai wartawan Tempo.
"Saya ingin menggambarkan sebagai novelis bahwa ada satu masa dalam kehidupan Pak Sjafruddin yang selama ini kurang dijelaskan," kata Akmal seusai acara peluncuran bukunya di Jakarta, Minggu (27/3/2011).
Akmal melihat Sjafruddin sebagai pemimpin yang prorakyat dan memiliki pengorbanan yang tidak kenal pamrih. Namun, ia tak banyak dikenalkan di sekolah, sebagaimana nama Bung Karno, Bung Hatta, Syahrir, dan H Agus Salim.
Padahal, katanya, Sjafruddin Prawiranegara pernah menjadi menteri keuangan, gubernur pertama Bank Indonesia, dan ada banyak jabatan lagi. Akmal termasuk yang menempatkan Sjafruddin sebagai salah satu Presiden RI.
"Sebetulnya, kalaupun pemerintah tidak menulis itu sebagai presiden tapi Ketua PDRI, mestinya tetap bisa ditulis, yang masih menjadi masalah adalah sebutan presidennya, tapi sebetulnya ia kepala negara setelah Bung Karno," ujarnya.
Menurut dia, 10 tahun setelah Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI), ada problem manajemen nasional sehingga muncul Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Pemerintah pusat menganggap PRRI sebagai pemberontakan.
Keterlibatan Sjafruddin dalam PRRI itu membuat peran pentingnya hilang selama era Orde Lama ataupun Orde Baru. Sjafruddin bahkan ikut meneken Petisi 50 bersama Ali Sadikin dan oleh Orde Baru hal itu juga dianggap sebagai upaya makar.
Bagi Akmal, reputasi Sjafruddin di era kemerdekaan itu tak seharusnya membuat dia juga dicoret dari daftar nama Presiden RI. Ia mencontohkan, mantan Presiden Amerika Serikat Richard Nixon pernah terbukti salah dalam skandal Watergate, tetapi dalam sejarah tetap diakui sebagai presiden.
Akmal mengungkapkan, Sjafruddin pun tidak mendapat penghargaan pahlawan nasional. Namun, namanya dipakai sebagai nama menara di kompleks kantor Bank Indonesia dan nama gedung di kantor Kementerian Pertahanan karena ia pernah menjadi menteri pertahanan dalam kabinet PDRI. "Itu, kan, lucu. Ada bagian pemerintah yang mengakui, tetapi secara legitimasi tidak diakui," ujarnya.
Sementara itu, politisi Fadli Zon yang juga menjadi narasumber dalam peluncuran buku novel itu mengatakan, Akmal berhasil mengangkat periode sejarah yang terlupakan atau bahkan mungkin dilupakan melalui judul yang cukup provokatif.
"Kalau Pemerintah RI tak mau mengakui Sjafruddin sebagai pahlawan, saya kira itu keliru besar. Penentuan pahlawan itu bukan lewat lobi atau tekanan politik, tetapi melalui suatu kajian, dan peran PDRI itu amat penting," katanya.
Sementara putri kedua Sjafruddin, Sofiah Y Prawiranegara, yang juga menjadi narasumber, bercerita, mendiang ayahnya juga senang musik. Ia pernah menciptakan mars Masyumi.
Masyumi adalah Majelis Syuro Muslimin Indonesia, partai politik yang dilarang Orde Lama dan dilanggengkan oleh Orde Baru.
Sumber :
ANT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar