Minggu, 20 Februari 2011

Ulos batak Masa dulu dan sekarang.

Ditinjau dari segi waktu dan tempat pemakain dan penggunaan ULOS sejak dahulu sampai sekarang ada dua bagian besar yakni: Ulos yang dipakai sehari hari dirumah,diladang,ditempat lain lain. Kemudian Ulos yang dipakai hanya untuk mengikuti upacara adat. Baik suka cita maupun duka cita.

Pada jaman dahulu sebelum orang batak mengenal tekstil buatan luar, ulos adalah pakaian sehari-hari. Bila dipakai laki-laki bagian atasnya disebut “hande-hande” sedang bagian bawah disebut “singkot” kemudian bagian penutup kepala disebut “tali-tali” atau “detar”.
Bia dipakai perempuan, bagian bawah hingga batas dada disebut “haen”, untuk penutup pungung disebut “hoba-hoba” dan bila dipakai berupa selendang disebut “ampe-ampe” dan yang dipakai sebagai penutup kepala disebut “saong”.
Apabila seorang wanita sedang menggendong anak, penutup punggung disebut “hohop-hohop” sedang alat untuk menggendong disebut’ “parompa”.
Sampai sekarang tradisi berpakaian cara ini masih bias kita lihat didaerah pedalaman Tapanuli.
Tidak semua ulos Batak dapat dipakai dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya ulos jugia, ragi hidup, ragi hotang dan runjat. Biasanya adalah simpanan dan hanya dipakai pada waktu tertentu saja.

Proses pembuatan ulos batak.

Bagi awam dirasa sangat unik. Bahan dasar ulos pada umumnya adalah sama yaitu sejenis benang yang dipintal dari kapas. Yang membedakan sebuah ulos adalah proses pembuatannya. Ini merupakan ukuran penentuan nilai sebuah ulos.
Warna Ulos Batak hanya terdiri dari:
1.Merah.
2.Putih.
3.Hitam.
Adapun warna warna lain adalah akibat perpaduan tiga warna tersebut atau mungkin sudah bergeser dari nilai Ulos Batak yang mempunyai ruhut=aturan(?) adaptasi dari kain suku lain dengan asumsi bahwa adat itu dinamis dalam hal karya seni.Dalam hal ini penulis masih bertanya tanya apakah harus mengambil ornamen dan corak khas orang lain??.
Untuk memberi warna dasar benang ulos, sejenis tumbuhan nila (salaon) dimasukkan kedalam sebuah periuk tanah yang telah diisi air. Tumbuhan ini direndam (digon-gon) berhari-hari hingga gatahnya keluar, lalu diperas dan ampasnya dibuang. Hasilnya ialah cairan berwarna hitam kebiru-biruan yang disebut “itom”.
Periuk tanah (palabuan) diisi dengan air hujan yang tertampung pada lekuk batu (aek ni nanturge) dicampur dengan air kapur secukupnya. Kemudian cairan yang berwarna hitam kebiru-biruan tadi dimasukkan, lalu diaduk hingga larut. Ini disebut “manggaru”. Kedalaman cairan inilah benang dicelupkan.
Sebelum dicelupkan, benang terlebih dahulu dililit dengan benang lain pada bahagian-bahagian tertentu menurut warna yang diingini, setelah itu proses pencelupan dimulai secara berulang-ulang. Proses ini memakan waktu yang sangat lama bahkan berbulan-bulan dan ada kalahnya ada yang sampai bertahun.
Setelah warna yang diharapkan tercapai, benang tadi kemudian disepuh dengan air lumpur yang dicampur dengan air abu, lalu dimasak hingga mendidih sampai benang tadi kelihatan mengkilat. Ini disebut “mar-sigira”. Biasanya dilakukan pada waktu pagi ditepi kali atau dipinggiran sungai/danau.
Bilamana warna yang diharapkan sudah cukup matang, lilitan benang kemudian dibuka untuk “diunggas” agar benang menjadi kuat. Benang direndam kedalam periuk yang berisi nasi hingga meresap keseluruh benang. Selesai diunggas, benang dikeringkan.
Benang yang sudah kering digulung (dihulhul) setiap jenis warna.
Setelah benang sudah lengkap dalam gulungan setiap jenis warna yang dibutuhkan pekerjaan selanjutnya adalah “mangani”. Benang yang sudah selesai diani inilah yang kemudian masuk proses penenunan.
Bila kita memperhatikan ulos Batak secara teliti, akan kelihatan bahwa cara pembuatannya yang tergolong primitif bernilai seni yang sangat tinggi.
Seperti telah diutarakan diatas, ulos Batak mempunyai bahan baku yang sama. Yang membedakan adalah poses pembuatannya mempunyai tingkatan tertentu. Misalnya bagi anak dara, yang sedang belajar bertenun hanya diperkenankan membuat ulos “parompa” ini disebut “mallage” (ulos yang dipakai untuk menggendong anak).
Tingkatan ini diukur dari jumlah lidi yang dipakai untuk memberi warna motif yang diinginkan. Tingkatan yang tinggi ialah bila dia telah mampu mempergunakan tujuh buah lidi atau disebut “marsipitu lili”. Yang bersangkutan telah dianggap cukup mampu bertenun segala jenis ulos Batak.
Jenis Ulos
1. Ulos Jugia.
Ulos ini disebut juga “ulos naso ra pipot atau “pinunsaan”.
Biasanya ulos yang harga dan nilainya sangat mahal dalam suku Batak disebut ulos “homitan” yang disimpan di “hombung” atau “parmonang-monangan” (berupa Iemari pada jaman dulu kala). Menurut kepercayaan orang Batak, ulos ini tidak diperbolehkan dipakai sembarangan kecuali orang yang sudah “saur matua” atau kata lain “naung gabe” (orang tua yang sudah mempunyai cucu dari anaknya laki-laki dan perempuan).
Selama masih ada anaknya yang belum kawin atau belum mempunyai keturuan walaupun telah mempunyai cucu dari sebahagian anaknya, orang tua tersebut belum bisa disebut atau digolongkan dengan tingkalan saur matua. Hanya orang yang disebut “nagabe” sajalah yang berhak memakai ulos tersebut. Jadi ukuran hagabeon dalam adat suku Batak bukanlah ditinjau dari kedudukan pangkat maupun kekayaan.
Tingginya aturan pemakaian jenis ulos ini menyebabkan ulos merupakan benda langka hingga banyak orang yang tidak mengenalnya. Ulos sering menjadi barang warisan orang tua kepada anaknya dan nialainya sama dengan “sitoppi” (emas yang dipakai oleh istri raja pada waktu pesta) yang ukurannya sama dengan ukuran padi yang disepakati dan tentu jumlah besar.
2. Ulos Ragi Hidup.
Ulos ini setingkat dibawah Ulos Jugia. Banyak orang beranggapan ulos ini adalah yang paling tinggi nilanya, mengingat ulos ini memasyarakat pemakainya dalam upacara adat Batak .
Ulos ini dapat dipakai untuk berbagai keperluan pada upacara duka cita maupun upacara suka cita. Dan juga dapat dipakai oleh Raja-raja maupun oleh masyarakat pertengahan. Pada jaman dahulu dipakai juga untuk “mangupa tondi” (mengukuhkan semangat) seorang anak yang baru lahir. Ulos ini juga dipakai oleh suhut si habolonan (tuan rumah). Ini yang membedakannya dengan suhut yang lain, yang dalam versi “Dalihan Na Tolu” disebut dongan tubu.
Dalam system kekeluargaan orang Batak. Kelompok satu marga ( dongan tubu) adalah kelompok “sisada raga-raga sisada somba” terhadap kelompok marga lain. Ada pepatah yang mengatakan “martanda do suhul, marbona sakkalan, marnata do suhut, marnampuna do ugasan”, yang dapat diartikan walaupun pesta itu untuk kepentingan bersama, hak yang punya hajat (suhut sihabolonan) tetap diakui sebagai pengambil kata putus (putusan terakhir).
Dengan memakai ulos ini akan jelas kelihatan siapa sebenarnya tuan rumah.
Pembuatan ulos ini berbeda dengan pembuatan ulos lain, sebab ulos ini dapat dikerjakan secara gotong royong. Dengan kata lain, dikerjakan secara terpisah dengan orang yang berbeda. Kedua sisi ulos kiri dan kanan (ambi) dikerjakan oleh dua orang. Kepala ulos atas bawah (tinorpa) dikerjakan oleh dua orang pula, sedangkan bagian tengah atau badan ulos (tor) dikerjakan satu orang. Sehingga seluruhnya dikerjakan lima orang. Kemudian hasil kerja ke lima orang ini disatukan (diihot) menjadi satu kesatuan yang disebut ulos “Ragi Hidup”.
Mengapa harus dikerjakan cara demikian? Mengerjakan ulos ini harus selesai dalam waktu tertentu menurut “hatiha” Batak (kalender Batak). Bila dimulai Artia (hari pertama) selesai di Tula (hari tengah dua puluh).
Bila seorang Tua meninggal dunia, yang memakai ulos ini ialah anak yang sulung sedang yang lainnya memakai ulos “sibolang”. Ulos ini juga sangat baik bila diberikan sebagai ulos “Panggabei” (Ulos Saur Matua) kepada cucu dari anak yang meninggal. Pada saat itu nilai ulos Ragi Hidup sama dengan ulos jugia.
Pada upacara perkawinan, ulos ini biasanya diberikan sebagai ulos “Pansamot” (untuk orang tua pengantin laki-laki) dan ulos ini tidak bisa diberikan kepada pengantin oleh siapa pun. Dan didaerah Simalungun ulos Ragi Hidup tidak boleh dipakai oleh kaum wanita.
3. Ragi Hotang.
Ulos ini biasanya diberikan kepada sepasang pengantin yang disebut sebagai ulos “Marjabu”. Dengan pemberian ulos ini dimaksudkan agar ikatan batin seperti rotan (hotang).
Cara pemberiannya kepada kedua pengantin ialah disampirkan dari sebelah kanan pengantin, ujungnya dipegang dengan tangan kanan Iaki-laki, dan ujung sebelah kiri oleh perempuan lalu disatukan ditengah dada seperti terikat.
Pada jaman dahulu rotan adalah tali pengikat sebuah benda yang dianggap paling kuat dan ampuh. Inilah yang dilambangkan oleh ragi (corak) tersebut.
4. Ulos Sadum.
Ulos ini penuh dengan warna warni yang ceria hingga sangat cocok dipakai untuk suasana suka cita. Di Tapanuli Selatan ulos ini biasanya dipakai sebagai panjangki/parompa (gendongan) bagi keturunan Daulat Baginda atau Mangaraja. Untuk mengundang (marontang) raja raja, ulos ini dipakai sebagai alas sirih diatas piring besar (pinggan godang burangir/harunduk panyurduan).
Aturan pemakaian ulos ini demikian ketat hingga ada golongan tertentu di Tapanuli Selatan dilarang memakai ulos ini. Begitu indahnya ulos ini sehingga didaerah lain sering dipakai sebagai ulos kenang-kenangan dan bahkan dibuat pula sebagai hiasan dinding. Ulos ini sering pula diberi sebagai kenang kenangan kepada pejabat pejabat yang berkunjung ke daerah.
5. Ulos Runjat.
Ulos ini biasanya dipakai oleh orang kaya atau orang terpandang sebagai ulos “edang-edang” (dipakai pada waktu pergi ke undangan). Ulos ini dapat juga diberikan kepada pengantin oleh keluarga dekat menurut versi (tohonan) Dalihan Natolu diluar hasuhutan bolon, misalnya oleh Tulang (paman), pariban (kakak pengantin perempuan yang sudah kawin), dan pamarai (pakcik pengantin perempuan). Ulos ini juga dapat diberikan pada waktu “mangupa-upa” dalam acara pesta gembira (ulaon silas ni roha).
Kelima jenis ulos ini adalah merupakan ulos homitan (simpanan) yang hanya kelihatan pada waktu tertentu saja. Karena ulos ini jarang dipakai hingga tidak perlu dicuci dan biasanya cukup dijemur di siang hari pada waktu masa bulan purnama (tula).
6. Ulos Sibolang.
Ulos ini dapat dipakai untuk keperluan duka cita atau suka cita. Untuk keperluan duka cita biasanya dipilih dari jenis warna hitamnya menonjol, sedang bila dalam acara suka cita dipilih dari warna yang putihnya menonjol. Dalam acara duka cita ulos ini paling banyak dipergunakan orang. Untuk ulos “saput” atau ulos “tujung” harusnya dari jenis ulos ini dan tidak boleh dari jenis yang lain.
Dalam upacara perkawinan ulos ini biasanya dipakai sebagai “tutup ni ampang” dan juga bisa disandang, akan tetapi dipilih dari jenis yang warnanya putihnya menonjol. Inilah yang disebut “ulos pamontari”. Karena ulos ini dapat dipakai untuk segala peristiwa adat maka ulos ini dinilai paling tinggi dari segi adat batak. Harganya relatif murah sehingga dapat dijangkau orang kebanyakan. Ulos ini tidak lajim dipakai sebagai ulos pangupa atau parompa.
7. Ulos Suri-suri Ganjang.
Biasanya disebut saja ulos Suri-suri, berhubung coraknya berbentuk sisir memanjang. Dahulu ulos ini diperguakan sebagai ampe-ampe/hande-hande. Pada waktu margondang (memukul gendang) ulos ini dipakai hula-hula menyambut pihak anak boru. Ulos ini juga dapat diberikan sebagai “ulos tondi” kepada pengantin. Ulos ini sering juga dipakai kaum wanita sebagai sabe-sabe. Ada keistimewaan ulos ini yaitu karena panjangnya melebihi ulos biasa. Bila dipakai sebagai ampe-ampe bisa mencapai dua kali lilit pada bahu kiri dan kanan sehingga kelihatan sipemakai layaknya memakai dua ulos.
8. Ulos Mangiring.
Ulos ini mempunyai corak yang saling iring-beriring. Ini melambangkan kesuburan dan kesepakatan. Ulos ini sering diberikan orang tua sebagai ulos parompa kepada cucunya. Seiring dengan pemberian ulos itu kelak akan lahir anak, kemudian lahir pula adik-adiknya sebagai temannya seiring dan sejalan. Ulos ini juga dapat dipakai sebagai pakaian sehari-hari dalam bentuk tali-tali (detar) untuk kaum laki-laki. Bagi kaum wanita juga dapat dipakai sebagai saong (tudung). Pada waktu upacara “mampe goar” (pembaptisan anak) ulos ini juga dapat dipakai sebagai bulang-bulang, diberikan pihak hula-hula kepada menantu. Bila mampe goar untuk anak sulung harus ulos jenis “Bintang maratur”.
9. Bintang Maratur.
Ulos ini menggambarkan jejeran bintang yang teratur. Jejeran bintang yang teratur didalam ulos ini menunjukkan orang yang patuh, rukun seia dan sekata dalam ikatan kekeluargaan. Juga dalam hal “sinadongan” (kekayaan) atau hasangapon (kemuliaan) tidak ada yang timpang, semuanya berada dalam tingkatan yang rata-rata sama. Dalam hidup sehari-hari dapat dipakai sebagai hande-hande (ampe-ampe), juga dapat dipakai sebagai tali-tali atau saong. Sedangkan nilai dan fungsinya sama dengan ulos mangiring dan harganya relatif sama.
10. Sitoluntuho-Bolean.
Ulos ini biasanya hanya dipakai sebagai ikat kepala atau selendang wanita. Tidak mempunyai makna adat kecuali bila diberikan kepada seorang anak yang baru lahir sebagai ulos parompa. Jenis ulos ini dapat dipakai sebagai tambahan, yang dalam istilah adat batak dikatakan sebagai ulos panoropi yang diberikan hula-hula kepada boru yang sudah terhitung keluarga jauh. Disebut Sitoluntuho karena raginya/coraknya berjejer tiga, merupakan “tuho” atau “tugal” yang biasanya dipakai untuk melubang tanah guna menanam benih.
11. Uos Jungkit.
Ulos ini jenis ulos “nanidondang” atau ulos paruda (permata). Purada atau permata merupakan penghias dari ulos tersebut. Dahulu ulos ini dipakai oleh para anak gadis dan keluarga Raja-raja untuk hoba-hoba yang dipakai hingga dada. Juga dipakai pada waktu menerima tamu pembesar atau pada waktu kawin.
Pada waktu dahulu kala, purada atau permata ini dibawa oleh saudagar-saudagar dari India lewat Bandar Barus. Pada pertengahan abad XX ini, permata tersebut tidak ada lagi diperdagangkan. Maka bentuk permata dari ragi ulos tersebut diganti dengan cara “manjungkit” (mengkait) benang ulos tersebut. Ragi yang dibuat hampir mirip dengan kain songket buatan Rejang atau Lebong. Karena proses pembuatannya sangat sulit, menyebabkan ulos ini merupakan barang langka, maka kedudukannya diganti oleh kain songket tersebut. Inilah sebabnya baik didaerah leluhur si Raja Batak pun pada waktu acara perkawinan kain songket ini biasa dipakai para anak gadis/pengantin perempuan sebagai pengganti ulos nanidondang. Disinilah pertanda atau merupakan suatu bukti telah pudarnya nilai ulos bagi orang Batak.
12. Ulos Lobu-Lobu.
Jenis ulos ini biasanya dipesan langsung oleh orang yang memerlukannya, karena ulos ini mempunyai keperluan yang sangat khusus, terutama orang yang sering dirundung kemalangan (kematian anak). Karenanya tidak pernah diperdagangkan atau disimpan diparmonang-monangan, itulah sebabnya orang jarang mengenal ulos ini. Bentuknya seperti kain sarung dan rambunya tidak boleh dipotong. Ulos ini juga disebut ulos “giun hinarharan”. Jaman dahulu para orang tua sering memberikan ulos ini kepada anaknya yang sedang mengandung (hamil tua). Tujuannya agar nantinya anak yang dikandung lahir dengan selamat.
Masih banyak lagi macam-macam corak dan nama-nama ulos antara lain: Ragi Panai, Ragi Hatirangga, Ragi Ambasang, Ragi Sidosdos, Ragi Sampuborna, Ragi Siattar, Ragi Sapot, Ragi si Imput ni Hirik, Ulos Bugis, Ulos Padang Rusa, Ulos Simata, Ulos Happu, Ulos Tukku, Ulos Gipul, Ulos Takkup, dan banyak lagi nama-nama ulos yang belum disebut disini. Menurut orang-orang tua jenis ulos mencapai 57 jenis.
Seperti telah diterangkan, ulos mempunyai nilai yang sangat tinggi dalam upacara adat batak, karena itu tidak mungkin kita bicarakan adat batak tanpa membicarakan hiou, ois, obit godang atau uis yang kesemuanya adalah merupakan identintas orang Batak.
13. Ulos Bolean.
14.Ulos Sampuborna.
15.Ulos hatirongga
16.dll.
Penerima Ulos
Menurut tata cara adat batak, setiap orang akan menerima minimum 3 macam ulos sejak lahir hingga akhir hayatnya. Inilah yang disebut ulos “na marsintuhu” (ulos keharusan) sesuai dengan falsafah dalihan na tolu. Pertama diterima sewaktu dia baru lahir disebut ulos “parompa” dahulu dikenal dengan ulos “paralo-alo tondi”. Yang kedua diterima pada waktu dia memasuki ambang kehidupan baru (kawin) yang disebut ulos “marjabu” bagi kedua pengantin (saat ini desebut ulos “hela”).
Seterusnya yang ketiga adalah ulos yattg diterima sewaktu dia meninggal. dunia disebut ulos “saput”.
I. Ulos Saat Kelahiran.
Ada dua hal yang perlu diperhatikan. Pertama apakah anak yang lahir tersebut anak sulung atau tidak. Dan yang kedua apakah anak tersebut anak sulung dari seorang anak sulung dari satu keluarga. 1. Bila yang lahir tersebut adalah anak sulung dari seorang ayah yang bukan anak sulung maka yang mampe goar disamping sianak, hanyalah orangtuanya saja (mar amani… ). 2. Sedang bila anak tersebut adalah anak sulung dari seorang anak sulung pada satu keluarga maka yang mampe goar disamping sianak, juga ayah dan kakeknya (marama ni… dan ompu ni… ).
Gelar ompu… bila gelar tersebut mempunyai kata sisipan “si”, maka gelar yang diperoleh itu diperdapat dari anak sulung perempuan (ompung bao).
Bilamana tidak mendapat kata sisipan si… maka gelar ompu yang diterimanya berasal dari anak sulung laki-laki (Ompung Suhut).
Untuk point pertama, maka pihak hula-hula hanya menyediakan dua buah ulos yaitu ulos parompa untuk sianak dan ulos pargomgom mampe goar untuk ayahnya. Untuk sianak sebagai parompa dapat diberikan ulos mangiring dan untuk ayahnya dapat diberikan ulos suri-suri ganjang atau ulos sitoluntuho.
Untuk point kedua, hula-hula harus menyediakan ulos sebanyak tiga buah, yaitu ulos parompa untuk sianak, ulos pargomgom untuk ayahnya, dan ulos bulang-bulang untuk ompungnya.
Seiring dengan pemberian ulos selalu disampaikan kata-kata yang mengandung harapan agar kiranya nama anak yang ditebalkan dan setelah dianya nanti besar dapat memperoleh berkah dari Tuhan Yang Maha Esa. Disampaikan melalui umpama (pantun). Pihak hula-hula memberikan ulos dari jenis ulos bintang maratur, tetapi bila hanya sekedar memberi ulos parompa boleh saja ulos mangiring.
II. Ulos Saat Perkawinan
Dalam waktu upacara perkawinan, pihak hula-hula harus dapat menyediakan ulos “si tot ni pansa” yaitu; 1. Ulos marjabu (untuk pengantin), 2. Ulos pansamot/pargomgom untuk orang tua pengantin laki-laki, 3. Ulos pamarai diberikan pada saudara yang lebih tua dari pengantin laki-laki atau saudara kandung ayah, 4. Ulos simolohon diberikan kepada iboto (adek/kakak) pengantin laki-laki. Bila belum ada yang menikah maka ulos ini dapat diberikan kepada iboto dari ayahnya. Ulos yang disebut sesuai dengan ketentuan diatas adalah ulos yang harus disediakan oleh pihak hula-hula (orang tua pengantin perempuan).
Adapun ulos tutup ni ampang diterima oleh boru diampuan (sihunti ampang) hanya bila perkawinan tersebut dilakukan ditempat pihak keluarga perempuan (dialap jual). Bila perkawinan tersebut dilakukan ditempat keluarga laki-laki (ditaruhon jual) ulos tutup ni ampang tidak diberikan.
Sering kita melihat begitu banyak ulos yang diberikan kepada pengantin oleh keluarga dekat. Dahulu ulos inilah yang disebut “ragi-ragi ni sinamot”. Biasanya yang mendapat ragi ni sinamot (menerima sebahagian dari sinamot) memberi ulos sebagai imbalannya. Dalam umpama (pantun) dalam suku Batak disebut “malo manapol ingkon mananggal”. Pantun ini mengandung pengertian, orang Batak tidak mau terutang adat.
Tetapi dengan adanya istilah rambu pinudun yang dimaksudkan semula untuk mempersingkat waktu, berakibat kaburnya siapa penerima “goli-goli” dari ragi-ragi ni sinamot. Timbul kedudukan yang tidak sepatutnya (margoli-goli) sehingga undangan umum (ale-ale) dengan dalih istilah “ulos holong” memberikan pula ulos kepada pengantin.
Tata cara pemberian.
Sebuah ulos (biasanya ragi hotang) disediakan untuk pengantin oleh hula-hula. Orang tua pengantin perempuan langsung memberikan (manguloshon) kepada kedua pengantin yang disebut “ulos marjabu”. Apabila orang tua pihak perempuan diwakilkan kepada keluarga dekat, maka dia berhak memberikan ulos kepada pengantin, akan tetapi bila orang tua laki-laki yang diwakilkan, maka ulos pansamot harus diterima secara terlipat.
Sedangkan ulos pargomgom (untuk pangamai) dapat diterima menurut tata cara yang biasa, dan pada peristiwa ini harus disediakan ulos sebanyak dua helai (ulos pasamot dan ulos pargomgom). Dalam penyampaian ulos biasanya diiringi dengan berbagai pantun (umpasa) dan berbagai kata-kata yang mengandung berkah (pasu-pasu). Setelah diulosi dilanjutkan penyampaian beras pasu-pasu (boras sipir ni tondi) ditaburkan termasuk kepada umum dengan mengucapkan “h o r a s” tiga kali.
Selanjutnya menyusul pemberian ulos kepada orang tua pengantin laki-laki atau yang mewakilinya dalam hal ini seiring dengan penyampaian umpasa dan kata-kata petuah. Sesudah itu berjalanlah pemberian ulos si tot ni pansa kepada pamarai dan simolohon. Biasanya pemberian ini disampaikan oleh suhut paidua (keluarga/turunan saudara nenek).
Setelah ulos lainnya berjalan maka sebagai penutup adalah pemberian ulos dari tulang (paman) pengantin laki-laki.
Tata cara urutan pemberian ulos adalah sebagai berikut; 1. Mula-mula yang memberikan ulos adalah orang tua pengantin perempuan, 2. Baru disusul oleh pihak tulang pengantin perempuan termasuk tulang rorobot, 3. Kemudian disusul pihak dongan sabutuha dari orang tua pengantin perempuan yang disebut paidua (pamarai), 4. Kemudian disusul oleh oleh pariban yaitu boru dari orang tua pengantin perempuan, 5. Dan yang terakhir adalah tulang pengantin laki-laki, setelah kepadanya diberikan bahagian dari sinamot yang diterima parboru dari paranak dari jumlah yang disepakati sebanyak 2/3 dari pihak parboru dan 1/3 dari paranak. Bahagian ini disampaikan oleh orang tua pengantin perempuan kepada tulang/paman pengantin laki-laki, inilah yang disebut “tintin marangkup”.
III. Ulos Saat Kematian.
Ulos yang ketiga dan yang terakhir yang diberikan kepada seseorang ialah ulos yang diterima pada waktu dia meninggal dunia. Tingkat (status memurut umur dan turunan) seseorang menentukan jenis ulos yang dapat diterimanya.
Jika seseorang mati muda (mate hadirianna) maka ulos yang diterimanya, ialah ulos yang disebut “parolang-olangan” biasanya dari jenis parompa.
Bila seseorng meninggal sesudah berkeluarga (matipul ulu, marompas tataring) maka kepadanya diberi ulos “saput” dan yang ditinggal (duda, janda) diberikan ulos “tujung”.
Bila yang mati orang tua yang sudah lengkap ditinjau dari segi keturunan dan keadaan (sari/saur matua) maka kepadanya diberikan ulos “Panggabei”.
Ulos “jugia” hanya dapat diberikan kepada orang tua yang keturunannya belum ada yang meninggal (martilaha martua).
Khusus tentang ulos saput dan tujung perlu ditegaskan tentang pemberiannya. Menurut para orang tua, yang memberikan saput ialah pihak “tulang”, sebagai bukti bahwa tulang masih tetap ada hubungannya dengan kemenakan (berenya).
Sedang ulos tujung diberikan hula-hula, dan hal ini penting untuk jangan lagi terulang pemberian yang salah.
Tata cara pemberiannya.
Bila yang meninggal seorang anak (belum berkeluarga) maka tidak ada acara pemberian saput. Bila yang meninggal adalah orang yang sudah berkeluarga, setelah hula-hula mendengar khabar tentang ini, disediakanlah sebuah ulos untuk tujung dan pihak tulang menyediakan ulos saput. Pemberiannya diiringi kata-kata turut berduka cita (marhabot ni roha). Setelah beberapa hari berselang, dilanjutkan dengan acara membuka (mengungkap) tujung yang dilakukan pihak hula-hula. Setelah mayat dikubur, pada saat itu juga ada dilaksanakan mengungkap tujung, tergantung kesepakatan kedua belah pihak.
Hula-hula menyediakan beras dipiring (sipir ni tondi), air bersih untuk cuci muka (aek parsuapan), air putih satu gelas (aek sitio-tio). Pelaksanaan acara mengungkap tujung umumnya dibuat pada waktu pagi (panangkok ni mata ni ari). Setelah pihak hula-hula membuka tujung dari yang balu, dilanjutkan dengan mencuci muka (marsuap). Anak-anak yang ditinggalkan juga ikut dicuci mukanya, kemudian dilanjutkan dengan penaburan beras diatas kepala yang balu dan anak-anaknya.
Memberi ulos panggabei.
Bila seseorang orang tua yang sari/saur matua meninggal dunia, maka seluruh hula-hula akan memberi ulos yang disebut ulos Panggabei. Biasanya ulos ini tidak lagi diberikan kepada yang meninggal akan tetapi kepada seluruh turunannya (anak, pahompu, dan cicit). Biasanya ulos ini jumlahnya sesuai dengan urutan hula-hula mulai dari hula-hula, bona tulang, bona ni ari, dan seluruh hula-hula anaknya dan hula-hula cucu/cicitnya.
Acara kematian untuk orang tua seperti ini biasanya memakan waktu sangat lama, adakalanya mencapai 3-5 hari acaranya. Biaya acaranya cukup besar, karena inilah acara puncak kehidupan orang yang terakhir.
Yang Memberikan Ulos
Di wilayah Toba, Simalungun dan Tanah Karo pada prinsipnya pihak hula-hulalah yang memberikan ulos kepada parboru/boru (dalam perkawinan). Tetapi diwilayah Pakpak / Dairi dan Tapanuli Selatan, pihak borulah yang memberikan ulos kepada kula-kula (kalimbubu) atau mora. Perbedaan spesifik ini bukan berarti mengurangi nilai dan makna ulos dalam upacara adat.
Semua pelaksanaan adat batak dititik beratkan sesuai dengan “dalihan na tolu” (tungku/dapur terdiri dari tiga batu) yang pengertiannya dalam adat batak ialah dongan tubu, boru, hula-hula harus saling membantu dan saling hormat menghormati.
Di wilayah Toba yang berhak memberikan ulos ialah : 1. Pihak hula-hula (tulang, mertua, bona tulang, bona ni ari, dan tulang rorobot). 2. Pihak dongan tubu (ayah, saudara ayah, kakek, saudara penganten laki-laki yang lebih tinggi dalam kedudukan kekeluargaan). 3. Pihak pariban (dalam urutan tinggi pada kekeluargaan).
Ale-ale (teman kerabat) yang sering kita lihat turut memberikan ulos, sebenarnya adalah diluar tohonan Dalihan na tolu (pemberian ale-ale tidak ditentukan harus ulos, ada kalanya diberikan dalam bentuk kado dan lain-lain).
Dari urutan diatas jelaslah bahwa yang berhak memberikan ulos adalah mereka yang mempunyai kedudukan yang lebih tinggi dalam urutan kekeluargaan dari sipenerima ulos.

Ulos Batak
Umpasa mandok:

Nunga mumpat angka taluntuk
Sega Gadu gadu
nunga tading uhum na buruk
Nunga ro be na imbaru.

Tempo dulu yang di terima sesuatu"itulah yang terbaik" masa kini"inilah yang terbaik"
Horas

Tidak ada komentar:

Posting Komentar