Minggu, 23 September 2012

Mandera Na Metmet





Mandera na Metmet
(Bendera Kecil)
Novel Bilangual dalam bahasa Batak dan Bahasa Indonesia
Karya Saut Poltak Tambunan



Mandera na Metmet - "Anak-anak Batakpun ikut berperang mempertahankan Kemerdekaan".

Seumur saya, sangat jarang saya mendengarkan cerita-cerita orangtua tentang perjuangan kemerdekaan yang nyata terjadi di kampung kami, atau di lingkungan tanah batak, melalui penuturuan orangtua atau kerabat tentang pengalaman mereka di masa penjajahan maupun paska kemerdekaan. Kalaupun ada, mungkin cuma perjuangan Sisingamangaraja XI I seperti yang sering kami tonton melalui Opera Serindo, atau dari pelajaran sejarah perjuangan kemerdekaan. Seringkali timbul perasaan iri setiap menjelang 17 Agustus, cerita2 sinetron atau film2 tentang kemerdekaan Indonesia kita hanya menyaksikan kehebatan pahlawan2 kemerdekaan dari suku-suku lainnya, atau paling tidak hanya sebatas kota Medan saja. Apakah di kampung kita sana, di Tapanuli (dahulu Tapanuli Utara, atau Keresidenan Tapanuli) tidak terjadi perang kemerdekaan, sehingga tidak ada tokoh atau cerita tentang perjuangan mereka yang tersisa untuk menjadi renungan bagi anak2 Batak?.

Dalam buku Kumcer "Mangongkal Holi", bagian Omak, SPT juga memaparkan sekilas bahwa tembak-menembak dalam era paska kemerdekaan seperti yang terjadi di kampung-kampung lain di Indonesia juga terjadi di sekitar Balige. Cerita inipun masih bisa saya bayangkan, seperti yang terjadi di sekitar tahun 1965 di mana kami anak-anak waktu itu setiap malam harus ikut berlindung dan masuk ke Lubang persembunyian walaupun tidak mengerti apa yang terjadi waktu itu. "Mandera na Metmet" membawa kita untuk membayangkan kondisi anak-anak Batak yang ikut berperan dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia dengan jiwa kekanak-kanakan mereka.

Cerita “Mandera na Metmet” mengambil setting perjuangan kemerdekaan sekitar agresi militer Belanda I sekitar tahu 1947 – 1948, yang dituturkan oleh Tokoh Ompung yang begitu akrab, komunikatif dan dirindukan oleh cucu-cucunya Batara, Uli dan Hasian. dan kemungkinan besar terjadi di sekitar Onanrunggu Sipahutar, agak mirip dengan gambar yang dibuat menjadi cover dari Novel ini.

Kepiawaian menyusun struktur cerita dalam buku ini, membuat kita berada pada posisi Batara, Hasian dan Uli yang selalu penasaran untuk segera tahu kelanjutan cerita tokoh Ompung. Rasa penasaran ini selalu terbentur dalam keterbatasan waktu dan disiplin yang ditetapkan oleh orang tua mereka.

Jeremia dan Jekjek kita temukan menjadi tokoh utama dalam cerita ini. Anak-anak berumur sekitar 12 – 14 tahun, tidak bersekolah. Mereka memahami arti merdeka, penjajahan, makna keberanian, kesetiakawanan dan nilai-nilai perjuangan, bukan dari bangku sekolah, melainkan dari persoalan-persoalan kehidupan yang mereka saksikan masa itu.

Sifat anak-anak yang sangat natural mengalir dengan baik. Keterlibatan anak-anak dalam cerita ini dituturkan tanpa kesan heroic yang dibuat-buat. Perkenalan si Jekjek dengan si Jeremia diawali dengan perasaan iri si Jekjek yang merasa tersaingi dengan kehadiran si Jeremia, dibangun begitu indah menjadi persahabatan yang sejati antara dua anak-anak, meskipun berakhir dengan mengharukan. Begitu juga dengan ketulusan masyarakat desa dalam bahu membahu, berbagi suka dan duka dengan teman sekampung, serta memberikan dukungan kepada para pejuang. Semua itu disajikan dengan baik seolah-olah kita sedang berada dalam kekalutan hidup mereka untuk ikut mengungsi menghindari kekejaman si penjajah Belanda.
Penulisan cerita ini dalam dua Bahasa, pasti akan sangat membantu kalangan muda orang Batak untuk menikmati cerita langka ini. Saut Poltak Tambunan, si penulis cerita berusaha sekali mem”batakkan” cerita-cerita tersebut dengan memasukkan nilai-nilai muatan lokal habatahon sebagai “ poda” (nasihat) yang layak direnungkan pada masa kini.

Dengan terbitnya Novel ini, saya sangat berharap menjadi inspirasi bagi penggiat karya sastra Batak dan Habatahon. Bapak SPT seakan mendobrak semua hambatan-hambatan yang selama ini mengganjal bagi para penggiat karya sastra orang Batak untuk menerbitkan karya-karyanya. Menerbitkan kumpulan cerpen dalam bahasa batak "Mangongkal Holi" saja sudah menjadi perjudian yang sangat besar, belum dalam hitungan tahun, kenekatan (gejolak hati yang membara) dari seorang Saut Poltak Tambunan, kembali memberanikan diri untuk menerbitkan karya sastra berupa Novel cerita perjuangan anak-anak Batak dalam dua Bahasa dan Bahasa Batak lagi. DITULIS sendiri, DIKERJAKAN sendiri, DITERBITKAN sendiri, DIJUAL sendiri.....dalam usianya yang tidak muda lagi, apa yang dilakukan oleh Saut Poltak Tambunan semoga menjadi pendorong untuk lahirnya karya-karya lain tentang Batak dan Habatahon. Juga sangat berharap agar para penggiat sastra orang Batak dan BApak Saut Poltak Tambunan berkenan saling membuka diri, berbagi pengalaman, dan saling mendukung untuk lahirnya karya2 bermutu lainnya dari para penggiat sastra batak yang selama ini terganjal dengan hambatan-hambatan ekonomis untuk menerbitkan karya-karyanya.

Selamat untuk Bapak Saut Poltak Tambunan, Selamat untuk orang Batak, akhirnya kita punya cerita tentang anak-anak Batak Pemberani yang ikut mempertaruhkan jiwanya demi tegaknya Indonesia raya. 


Sabtu, 22 September 2012

Buku Mangongkal Holi


T


Terbitnya buku kumpulan cerpen berbahasa Batak (torsatorsa Hata Batak), Mangongkal Holi (Penerbit Selasar Pena Talenta, 2012), merupakan bukti keuletan Pengarang Batak Bapak Saut Poltak Tambunan untuk mewujudkan apa yang diinginkannya. Buku ini akan menjadi pelecut sejarah bagi masyarakat Batak untuk tidak takut kehilangan pembaca bila menulis dalam bahasa Batak.

Memang, dari 10 cerpen dalam buk

u ini, sebagian merupakan cerpen yang awalnya ditulis dalam bahasa Indonesia, kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Batak. Justru karena diterjemahkan itulah cerpen tersebut menjadi lebih memiliki roh. Sebab, sesungguhnya roh dari cerpen itu akan muncul apabila ditulis dalam bahasa Batak, terutama karena kapital-kapital sosial masyarakat Batak menjadi lebih awet dalam teks-teks bahasa Batak.

Dalam cerpen Mangongkal Holi, yang bercerita tentang tradisi memindahkan makam leluhur (mangongkal holi) di lingkungan masyarakat Batak perantau yang tak resap lagi terhadap tradisi seperti itu. Dialok yang dibangun Saut di antara para tokohnya, yang menunjukkan kuatnya tradisi bermufakat di lingkungan masyarakat Batak, menjadi lebih menarik disimak sebagai sebuah gambaran antropologi budaya karena disajikan dalam bahasa Batak. Makna yang terkandung dalam setiap item kultur tradisi mangongkal holi yang harus melibatkan semua masyarakat di kampung, menerangkan kepada pembaca betapa masyarakat Batak merupakan sosok masyarakat yang hanya akan melakukan sebuah pekerjaan jika sudah dibicarakan dan diputuskan secara demokrasi.

Seandainya cerpen ini ditulis dalam bahasa Indonesia, akan banyak nilai-nilai habatahon (budaya Batak) yang tak bisa ditemukan. Bahasa Batak membuat nilai-nilai itu tetap terjaga. Begitu juga halnya dengan cerpen Lanteung. Awalnya cerpen ini ditulis dalam bahasa Indonesia, tapi ketika membacanya dalam bahasa Batak, ruh cerita tentang Lanteung lebih terasa.

Cerita-cerita lain dalam buku ini menjadi lebih tepat dikisahkan dalam bahasa Batak. Sebab itu, upaya Saut untuk melestarikan bahasa Batak dengan menulis karya sastra berbahasa Batak, layak menginspirasi banyak pihak. Sangat layak pula apabila panitia Hadiah Sastra Rancage pun mulai melirik karya sastra berbahasa Batak untuk diikutsertakan dalam penilaian. Pasti, kontinuitas penerbitan buku sastra berbahasa Batak akan terjaga sebagaimana kontinuitas penerbitan buku sastra berbahasa Sunda dan Jawa.

Akhir kata, Semoga Sukses Selalu buat Pengarang buku Mangongkal Holi bapak Saut Poltak Tambunan. Semoga jalan lama yang dibuka kembali makin diikuti banyak sastrawan asal Sumatra Utara, yang lahir dan besar dari tradisi masyarakat Batak.