Sabtu, 24 September 2011

DILEMATIKA HUKUM KETENAGAKERJAAN

ISBN: 000
Kode Buku:
Harga: Rp. 85.000.-
Pengarang: Dr. Agusmidah, S.H., M.Hum.
Penerbit: PT. SOFMEDIA


Deskripsi: P olitik hukum yang dimaksud dalam tulisan ini meliputi dua dimensi: Pertama, politik hukum diartikan sebagai alasan dasar dari diadakannya suatu peraturan perundang-undangan, disebut juga sebagai kebijakan dasar (basic policy), Kedua, politik hukum diartikan sebagai tujuan atau alasan yang muncul di balik pemberlakuan suatu peraturan perundang-undangan, disebut sebagai kebijakan pemberlakuan (enacment policy). Di sini pemberlakuan suatu peraturan perundangan dipandang sebagai instrumen politik pemerintah atau penguasanya untuk tujuan tertentu.
Kedua dimensi dari politik hukum ini akan terlihat dalam pembahasan dalam buku ini, hal ini berguna untuk melakukan pembahasan secara menyeluruh dan komprehensif.
I. Politik Hukum Sebagai Kebijakan Dasar. Kebijakan dasar dalam Hukum Ketenagakerjaan adalah untuk melindungi pihak yang lemah, dalam hal ini pekerja/buruh dari kesewenang-wenangan majikan/pengusaha yang dapat timbul dalam hubungan kerja dengan tujuan memberikan perlindungan hukum dan mewujudkan keadilan sosial.
'The main object of labour law has always been, and I venture to say will always be, to be a countervailing force to counteract the inequality of bargaining power which is inherent and must be inherent in the employment relationship.... It is an attempt to infuse law into a relation of command and subordination'.
Timbulnya Hukum Ketenagakerjaan ini dikarenakan adanya ketidaksetaraan posisi tawar yang terdapat dalam hubungan ketenagakerjaan (antara pekerja/buruh dengan pengusaha/majikan), dengan alasan itu pula dapat dilihat bahwa tujuan utama Hukum Ketenagakerjaan adalah agar dapat meniadakan ketimpangan hubungan diantara keduanya.
Fungsi dan tujuan Hukum Ketenagakerjaan tidak lepas dari tujuan hukum pada umumnya, yang oleh Gustav Radbrugh disebut tiga nilai dasar dari hukum yaitu keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum.
Theo Huijbers menguraikan tiga tujuan hukum sebagai: pertama, memelihara kepentingan umum dalam masyarakat, kedua, menjaga hak-hak manusia, ketiga, mewujudkan keadilan dalam hidup bersama.
Demikian ideal tujuan dari hukum, disamping itu perlu juga menyimak pendapat Sunaryati Hartono, bahwa hukum bukan merupakan tujuan, akan tetapi hanya merupakan jembatan, yang akan membawa kita kepada ide yang dicita- citakan. Ide yang dicita-citakan itu tidak lain dan tidak bukan adalah merupakan tujuan hukum itu sendiri.
Untuk mencapai tujuan hukum tersebut, maka diperlukan proses pembentukan dan pelaksanaan hukum agar sesuai dengan tujuan tersebut, untuk itu diperlukan politik hukum. Dalam hal ini politik hukum sebagai kebijakan dasar juga dimaksudkan sebagai sarana dalam rangka mewujudkan pembinaan hukum nasional.
Dalam usaha untuk mewujudkan pembinaan hukum nasional, politik hukum menentukan hukum yang seharusnya berlaku mengatur berbagai hal kehidupan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang sering diistilahkan dengan kebijakan hukum (legal policy).
Pemahaman ini diperkuat dengan melihat pada pengertian policy di dalam literatur Ilmu Politik dan Pemerintahan. Policy (kebijakan) diartikan sebagai suatu tindakan berpola yang mengarah pada tujuan tertentu, dan bukan sekedar keputusan untuk melakukan sesuatu. Memahami Politik Hukum menurut M. Solly Lubis harus dilakukan dari dua pendekatan, yaitu pendekatan sistem dan pendekatan kultural-politis:
“Melalui pendekatan sistem pembinaan hukum nasional harus dilihat sebagai salah satu dimensi politik yang secara kontekstual dan konseptual bertalian erat dengan dimensi- dimensi geopolitik, ekopolitik, demopolitik, sosio-politik, dan krato politik. Dengan kata lain Politik Hukum tidak berdiri sendiri lepas dari dimensi politik lainnya…
Melalui pendekatan kultural, pembinaan hukum dilihat bukan sekedar pergeseran waktu dari zaman kolonial ke zaman kemerdekaan lalu perlunya perubahan hukum, tetapi adalah juga pergeseran nilai yang ingin menjabarkan sistem nilai yang kita anut ke dalam konstruksi hukum nasional.

Community Policing: Diskresi Dalam Pemolisian Yang Demokratis

ISBN: 0
Kode Buku:
Harga: Rp. 60.000,-
Pengarang: Dr. Mahmud Mulyadi, S.H., M.Hum & Andi Sujendral, SH., M.H
Penerbit: PT. SOFMEDIA


Deskripsi:
               N egara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara hukum (Rechtsstaat), tidak berdasarkan kepada kekuasaan belaka (Machtsstaat). Hal ini menunjukkan bahwa sistem pemerintahan negara Indonesia berdasarkan atas hukum. Di dalam sistem tersebut terdapat segala bentuk kebijakan dan tindakan aparatur penyelenggara negara yang juga harus berdasar atas hukum, tidak semata-mata berdasarkan kekuasaan yang melekat pada kedudukan aparatur penyelenggara negara itu sendiri.
Hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup dalam masyarakat. Konsep teori ini merupakan adanya kompromi antara hukum yang tertulis sebagai kebutuhan masyarakat hukum, demi adanya kepastian hukum dan living law sebagai wujud penghargaan terhadap pentingnya peranan mayarakat dalam pembentukan dan orientasi hukum. Pembentukan hukum yang didasarkan pada kaedah hukum haruslah memperhatikan akibat hukum dari penerapan suatu ketentuan hukum positif yang mengarah pada suatu pencapaian kepastian hukum, oleh karenanya pembentukan hukum dalam kerangka pembangunan hukum di Indonesia (law making) haruslah menyelaraskan dan memeperhatikan hukum yang hidup dalam masyarakat.
Negara Indonesia bertujuan untuk memberikan perlindungan bagi segenap rakyatnya. Untuk mewujudkan tujuan ini, dibentuklah suatu institusi atau lembaga negara yang bertugas memberikan perlindungan kepada masyarakat, yakni Kepolisian Negara Republik Indonesia, yang telah diatur dalam UUD 1945 dalam BAB XII Tentang Pertahanan dan Keamanan Negara. Di Pasal 30 ayat 4 UUD’45 dinyatakan bahwa Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan hukum.
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia venture to say will always be, to be a countervailing force to adalah merupakan sebuah landasan yuridis yang mengatur tentang keberadaan POLRI dalam sistem negara Indonesia. Kedudukan polisi sebagai alat negara memberikan paradigma baru dalam pelaksanaan tugas operasional Kepolisian di Indonesia.
Kepolisian Negara Republik Indonesia (POLRI), sebagai bagian dari institusi negara yang berfungsi dalam bidang keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat, yang dalam membangun dirinya harus selalu selaras dengan agenda pembangunan nasional yang memuat Visi, Misi, Strategi Pokok Pembangunan, Kebijakan dan Sasaran serta Program dan Kegiatan.
Proses reformasi Polri telah menampakkan hasil pada aspek struktural dan instrumental yang memantapkan kedudukan dan susunan Polri dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia, serta semakin mengemukanya paradigma baru sebagai polisi yang berwatak sipil (Civilian Police), sementara itu, pembenahan aspek kultural masih berproses, antara lain melalui: pembenahan kurikulum pendidikan, sosialisasi nilai-nilai Tribrata, Catur Prasetya, dan Kode Etik Profesi untuk mewujudkan jati diri Polri sebagai pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat, walaupun masih ditemukan sikap perilaku anggota Polri yang belum sepenuhnya mencerminkan jati diri sebagai pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat.
Theo Huijbers menguraikan tiga tujuan hukum sebagai: pertama, memelihara kepentingan umum dalam masyarakat, kedua, menjaga hak-hak manusia, ketiga, mewujudkan keadilan dalam hidup bersama.
Di dalam menjalankan tugasnya, Polisi diberi wewenang "diskresi" sebagai parameter kebijakan untuk menyeimbangkan dua kepentingan berbeda dalam kehidupan masyarakat. Diskresi demi kepentingan umum dapat dilakukan pada saat berdinas dan di luar jam dinas dengan pendekatan akuntabilitas, integritas, dan tetap dalam bingkai hukum. Agar masyarakat merasa aman, tidak boleh ada konflik yang lepas dari pantauan polisi dan persoalan kecil tidak boleh sendiri. nya berkembang menjadi besar. Setiap personel polisi berwenang mengambil keputusan sendiri yang tidak boleh ditunda-tunda.
Diskresi, sebagai keputusan yang lebih bertitik tolak pada kecerdasan dan keluhuran nurani, merupakan kebijaksanaan yang layak diapresiasi. Diskresi menjadi indikasi bahwa dalam operasi- operasinya, Polri tidak melulu menjadikan pedoman normatif sebagai satu-satunya rujukan. Diskresi semakin patut dikedepankan, terlebih manakala aturan-aturan legal nasional masih tertatih-tatih dalam beradaptasi dengan segala problematika di Indonesia. Dalam kondisi itulah, diskresi diharapkan mampu mengubah status Indonesia, yang selama ini dinilai banyak kalangan telah menjadi ajang korupsi.

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP NOTARIS

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP NOTARIS

ISBN: 000
Kode Buku: 000-000-0000-00-0
Harga: Rp. 60.000,-
Pengarang: Putri A. R.
Penerbit: PT. SOFMEDIA

Deskripsi:

Indonesia merupakan negara hukum (rechtstaat) dimana prinsip negara hukum adalah menjamin kepastian, ketertiban dan perlindungan hukum yang berintikan kebenaran dan keadilan. Hal ini tentunya menuntut bahwa di dalam lalu lintas hukum diperlukan adanya alat bukti dalam menentukan hak dan kewajiban seseorang sebagai subjek hukum dalam kehidupan bermasyarakat. Kesadaran akan inilah yang menyebabkan munculnya suatu pemikiran untuk membuat suatu alat bukti yang dapat melindungi hak-hak seseorang dalam berinteraksi dengan yang lainnya. Di Indonesia sendiri hal ini dapat dilihat dari keberadaan notaris yang berfungsi untuk membuat akta otentik sebagai alat bukti mengenai hubungan hukum antara individu dengan individu lainnya.
Di dalam Pasal 1870 dan 1871 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) dikemukakan bahwa akta otentik itu adalah alat pembuktian yang sempurna bagi kedua belah pihak dan ahli warisnya serta sekalian orang yang mendapat hak darinya tentang apa yang dimuat dalam akta tersebut. Akta otentik yang merupakan bukti yang lengkap (mengikat) berarti kebenaran dari hal-hal yang tertulis dalam akta tersebut dianggap sebagai benar, selama kebenarannya itu tidak ada pihak lain yang dapat membuktikan sebaliknya.
Menurut Pasal 1868 KUH Perdata, akta otentik adalah suatu akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau di hadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat dimana akta dibuatnya. Menurut Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (UUJN), notaris adalah satu-satunya yang mempunyai wewenang umum itu, artinya tidak turut para pejabat lainnya. Wewenang notaris adalah bersifat umum, sedangkan wewenang pejabat lain adalah pengecualian.
Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik sejauh pembuatan akta otentik tidak dikhususkan kepada pejabat umum lainnya. Pembuatan akta otentik ada yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dalam rangka menciptakan kepastian, ketertiban dan perlindungan hukum. Selain itu, akta otentik yang dibuat oleh atau di hadapan notaris, bukan saja karena diharuskan oleh peraturan perundang-undangan, tetapi juga dikehendaki oleh pihak yang berkepentingan untuk memastikan hak dan kewajiban para pihak demi kepastian, ketertiban dan perlindungan hukum bagi pihak yang berkepentingan sekaligus bagi masyarakat secara keseluruhan.

KETENTUAN PIDANA DALAM UU NO. 32 TAHUN 2009 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP



ISBN: 000
Kode Buku:
Harga: Rp. 70.000.-
Pengarang: Prof. Dr. Alvi Syahrin, S.H., M.S.
Penerbit: PT. SOFMEDIA
Pemesanan: 











 

Deskripsi:
 Kualitas lingkungan hidup yang semakin menurun telah mengancam kelangsungan perikehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya, serta pemanasan global yang semakin meningkat yang mengakibatkan perubahan iklim, dan hal ini akan memperparah penurunan kualitas lingkungan hidup. Untuk itu perlu dilakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang sungguh-sungguh dan konsisten oleh semua pemangku kepentingan.
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup berdasarkan Pasal 1 angka (2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup membawa dampak yang positif bagi kehidupan masyarakat. Kemajuan pembangunan (UUPPLH) adalah upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan masyarakat, yakni dengan memberikan peluang atas munculnya korporasi-korporasi untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum.
Upaya perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup menjadi kewajiban bagi negara, pemerintah, dan seluruh pemangku kepentingan dalam pelaksanaan pembangunan berkelanjutan agar lingkungan hidup Indonesia dapat tetap menjadi sumber dan penunjang hidup bagi rakyat Indonesia serta makhluk hidup lain.
Ketentuan Pasal 1 angka (3) UUPPLH, menetapkan bahwa pembangunan berkelanjutan sebagai upaya sadar dan terencana yang memadukan aspek lingkungan hidup, sosial, dan ekonomi ke dalam strategi pembangunan untuk menjamin keutuhan lingkungan hidup serta keselamatan, kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan.
Pengelolaan lingkungan hidup memberikan kemanfaatan ekonomi, sosial, dan budaya serta pelu dilakukan berdasarkan prinsip kehati-hatian, demokrasi lingkungan, desentralisasi, serta pengakuan dan penghargaan terhadap kearifan lokal dan kearifan lingkungan, sehingga lingkungan hidup Indonesia harus dilindungi dan dikelola dengan baik berdasarkan asas tanggungjawab negara, asas keberlanjutan, dan asas keadilan.
Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup menuntut dikembangkannya suatu sistem yang terpadu, berupa suatu kebijakan nasional perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang harus dilaksanakan secara taat asas dan konsekuen dari pusat sampai ke daerah.
Menyadari potensi dampak negatif yang ditimbulkan sebagai konsekuensi dari pembangunan, terus dikembangkan upaya pengendalian dampak secara dini. Analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal) adalah salah satu perangkat preemtif pengelolaan lingkungan hidup yang terus diperkuat melalui peningkatkan akuntabilitas dalam pelaksanaan penyusunan amdal dengan mempersyaratkan lisensi bagi penilai Amdal dan diterapkannya sertifikasi bagi penyusun dokumen Amdal, serta dengan memperjelas sanksi hukum bagi pelanggar nya di bidang Amdal. Amdal juga menjadi salah satu persyaratan utama dalam memperoleh izin lingkungan yang mutlak dimiliki sebelum diperoleh izin usaha. Upaya preventif dalam rangka pengendalian dampak lingkungan hidup perlu dilaksanakan dengan mendayagunakan secara maksimal instrumen , pengawasan dan perizinan. Dalam hal pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup sudah terjadi, perlu dilakukan upaya represif berupa penegakan hukum yang efektif, konsekuen, dan konsisten terhadap pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup yang sudah terjadi. Sehingga perlu dikembangkan satu sistem hukum perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang jelas, tegas, dan menyeluruh guna menjamin kepastian hukum sebagai landasan bagi perlindungan dan pengelolaan sumberdaya alam serta kegiatan pembangunan lain...dst

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

 

 

 

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

ISBN: 000-000-0000-00-0 
 
Kode Buku: SH - 13/ 99.24.2011
Harga: Rp. 115.000,-
Pengarang: Sophia Hadyanto, S.H..M.H
Penerbit: PT. Sofmedia

Deskripsi:
KITAB UNDANG - UNDANG HUKUM PERDATA

PRAKARTA

Kitab Undang - Undang Hukum Perdata ini adalah sebuah kitab yang diterjemahkan dari Burgerlijk Wetboek, yakni sebuah kitab undang-undang yang berasal dari zaman pemerintahan Belanda: dengan berdsarkan atas konkordansi, maka Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Belanda menjadi contoh Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia.

Kodifikasi KUH Perdata (BW) Indonesia diumumkan pada tanggal 30 April 1847 melalui staatsblad No. 23 mulai beralku pada tanggal 1 Januari 1848, dan kita mewarisinya sampai sekarang, sesuai dengan peraturan peralihan Undang-Udang Dasar Sementara tahun 1950.

Burgerlijk Wetboek memuat 1993 pasal, disusun dalam bahasa Belanda yang agak kuno, yang merupakan peraturan-peraturan hukum perdata yang sampai sekarang masih berlaku di Negeri Belanda, dan juga berlaku bagi sebagian penduduk di Negara kita tercinta ini, diantaranya:
  • Mereka yang termasuk golongan Eropah,
  • Mereka yang termasuk golongan tionghoa dan beberapa pengecualian dan penambahan seperti yang dimuat dalam Lembaran Negara tahun 1917 s/d 129 (Lampiran II),
  • Mereka yang termasuk golongan Timur Asing yang lain daripada Tionghoa, dengan pengecualian dan penjelasan seperti yang termuat dalam Lemabran Negara tahun 1924 s/d 556 (Lampiran I)
Burgerlijk Wetboek mengandung banyak faham hukum yang asing untuk diterjemahkan kedalam bahasa Indoenesia, sehingga mempunyai banyak arti untuk satu kata bahasa Belanda. Kata-kata dan Istilah-istilah yang digunakan dalan kitab ini merupakan kata-kata dan istiah yang selama ini telah digunakan dalam buku-buku Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, misalnya arti dari istilah "bezit" adalah "kedudukan", "Erfdientbaarheid" diterjemahkan sebagai "pengabdian tanah", juga "Zaken" diterjemahkan dengan kata "kebendaan". Demikian pula, banyak bagian-bagian mengenai hukum acara dalam Burgerlijk Wetboek dimana terdapat sebutan "Gouverneur Generaal", "Assistent Resident"  yang didalam kitab ini telah diterjemahkan dengan kata "Pemerintah".

KUHPerdta ini masih jauh dari kesempurnaan, namun sesuai dengan maksud dan tujuan yang tidak lebih daripada untuk memberi kesempatan kepada seluruh masyarakat pada umumnya, dan khususnya bagi mereka yang ingin mengetahui isi dan corak dari hukum perdata Barat yang termuat dalam Burgerlijk Wetboek, yang dikenal sebagai KUHPerdata di Negara R.I., KUHPerdata ini dipersembahkan.

Hanya dengan Rahmat Tuhan dan berkatNya, yang memberi petunjuk dan kekuatan untuk menyelesaikan penghimpunan terhadap buku Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ini, dengan harapan satu-satunya, kalimat demi kalimat dalam Bahasa Indonesia ini dapat membantu meminimalisir penafsiran-penafsiran yang berbeda-beda pada maksud yang terkandung dalam tiap-tiap pasal.

Dengan segala kerendahan hati, izinkanlah saya dengan tulus menghaturkan rasa terimakasih kepada suami tercinta:
Prof. Dr. dr. Hadyanto Lim, M.Kes, Sp.FK, FESC, FIBA, dan juga kepada Vina Hadyanto (USA), Steven Hadyanto, Richard Hadyanto, anak-anak saya yang senantiasa memberikan dukungan semangat yang sangat berarti dalam hidup saya.

Semoga buku Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ini memberikan manfaat yang berguna bagi masyarakat pada umumnya dan para sarjana hukum, ahli hukum, dan prakitisi hukum khususnya. Semoga Tuhan Yang Maha Esa, Maha Pengasih dan Penyayang memberkati kita semua.


 
 
 

POLITIK HUKUM PIDANA TERHADAP KEJAHATAN KORPORASI

 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
ISBN: 000
Kode Buku:
Harga: Rp. 50.000,-
Pengarang: Dr. Mahmud Mulyadi, S.H., M.Hum & Feri Antoni Surbakti, S.H., M.H.
Penerbit: PT. SOFMEDIA
Pemesanan:

Deskripsi:
  
Pembangunan dan modernisasi serta perubahan sosial mempunyai hubungan yang saling berkaitan erat satu sama lainnya. Hal ini disebabkan oleh pembangunan dan modernisasi yang dijalankan suatu bangsa membawa perubahan sosial. Artinya, dengan demikian pembangunan merupakan suatu proses yang dialami suatu masyarakat bertujuan untuk menuju kehidupan yang lebih baik.
Meningkatnya pembangunan dan perkembangan ekonomi yang begitu pesat saat ini, sebagai akibat dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di satu sisi telah membawa dampak yang positif bagi kehidupan masyarakat. Kemajuan pembangunan itu sendiri dari sisi lain juga telah membawa dampak yang negatif bagi masyarakat, yakni dengan memberikan peluang atas munculnya korporasi-korporasi yang di dalam menjalankan usahanya secara sadar atau tidak sadar telah melakukan kejahatan yang mengancam keselamatan bangsa, disebabkan banyaknya penyimpangan perilaku korporasi yang bersifat merugikan masyarakat dalam berbagai bentuk yang berskala luas.
Mengingat pembangunan di Indonesia saat ini diarahkan untuk meningkatkan proses industrialisasi, maka mudah dipahami bahwa Indonesia saat ini berada dalam tarikan kemajuan dunia usaha dimana kemajuan tersebut diikuti dengan peranan korporasi yang sangat besar, sehingga sangatlah wajar apabila perhatian khusus diarahkan kepada korporasi untuk meningkatkan tanggungjawab korporasi dengan menggunakan sarana Hukum Pidana.
Pelanggaran hukum yang dilakukan oleh korporasi di dalam aktivitasnya yang merupakan ruang lingkup “public welfare offenses” telah menjadi suatu kenyataan yang tidak dapat dihindarkan. Seiring dengan berjalannya waktu, pesatnya pertumbuhan ekonomi dunia yang mengarah kepada era globalisasi telah memberikan peluang akan tumbuhnya perusahaan-perusahaan transnasional untuk memainkan peranannya. Peran korporasi tersebut sering dirasakan bahkan banyak mempengaruhi sektor-sektor kehidupan masyarakat. Dampak yang dirasakan tersebut dapat bersifat positif dan negatif, namun dampak yang bersifat negatif yang lebih sering terjadi dan dirasakan saat ini.
Sebagai contoh, suatu gambaran yang ditemukan dalam penelitian pada sekitar korporasi di Amerika Serikat; sebagaimana yang dikemukakan oleh Soedjono Soekanto, telah menunjukkan adanya pelanggaran hukum secara besar-besaran yang mengakibatkan kerugian ekonomi yang cukup besar bagi konsumen dan terhadap negara. Bentuk penyimpangan perilaku korporasi yang merupakan dampak dari aktivitasnya yang membahayakan masyarakat misalnya pada tahun 1984, telah terjadi suatu bencana kimia akibat kebocoran gas pada pabrik milik Unicorn Carbide India Limited, di Bhopal India. Kejadian tersebut berakibat buruknya sistem pengamanan dan tindakan penghematan biaya yang dilakukan oleh perusahaan tersebut, efeknya yang dirasakan hingga 20 (dua puluh) tahun ke depan. Di Indonesia, bentuk dari perbuatan yang ditimbulkan sebagai dampak terhadap aktivitas korporasi di sektor perekonomian yang membahayakan masyarakat dapat dilihat dari berbagai peristiwa yang terjadi seperti halnya, kasus pencemaran kali (sungai) Tapak di Semarang dan Kali (sungai) Berantas di Surabaya, bahkan peristiwa yang masih hangat sekarang ini adalah kasus Lumpur Lapindo Sidoarjo, di Jawa Timur yang diindikasi sebagai kegiatan pengeboran yang tidak memenuhi standarisasi (Human error) yang dilakukan oleh PT. Lapindo Brantas. Peristiwa lumpur Lapindo Brantas tersebut, mengakibatkan ribuan orang kehilangan tempat tinggal dan segala harta bendanya karena terendam lumpur, belum lagi industri-industri yang berada di sekitar semburan lumpur tersebut harus menutup usahanya akibat tidak bisa berproduksi yang akhirnya mengakibatkan ribuan orang kehilangan pekerjaannya.

PARADIGMA KEBIJAKAN HUKUM PASCA REFORMASI

 


 

 

 

 

 

 

 

 


ISBN: 000--
Kode Buku:
Harga: Rp. 90.000.-
Pengarang: Prof. Dr. M. Solly Lubis, S.H.
Penerbit: PT. SOFMEDIA


Deskripsi:
TUTUR PEMANGKAL
Politik Hukum adalah salah satu subsistem di dalam “sistem manajemen (pengelolaan) kehidupan nasional” kita, sekaligus sebagai subsistem dari ”politik nasional.”
Konsekwensi kesisteman ini, ialah bahwa Politik Hukum (legal policy) itu tidaklah berdiri sendiri, tetapi saling berkait bahkan saling mempengaruhi di antara semua sub-subsistem kehidupan bangsa dan negara ini.
Sebagai konsekwensi lanjut dari disiplin kesisteman yang demikian, maka semua “aktor perumus kebijakan dan pelaku kekuasaan (political decision maker and executive board) di negara ini, hendaknya eksis secara bersama-sama dan kerjasama selaras dan proporsional dengan aturan main (spelregels) yang disepakati dalam satu bingkai sistem kenegaraan dan pemerintahan secara paradigmatik.
Harmoni dan proporsionalitas dalam konteks kerjasama antar penguasa dan kekuasaan ini, merupakan “conditio sine qua non”, jika ingin menikmati suatu sistem yang stabil, solid, dan efective.
Sampai hari ini, pada umumnya semua, baik yang merasa turut dalam sistem kekuasaan, maupun pihak masyarakat ramai, mengatakan bahwa kita sedang dalam arus reformasi; meskipun masih dipandang perlu dipertanyakan, apakah gerakan reformasi tadinya hanya sekedar melengserkan dan merombak satu rejim, ataukah reformasi itu datang dengan konsep yang siap sedia untuk systeem en machtshervorming (pembaruan sistem dan kekuasaan) sebagai perbaikan total sistem kenegaraan dan pemerintahan di tanah air ini.
Pada tahun 1999, yakni di saat arus politik gerakan reformasi mulai bergelora, MPR RI, sebagai Lembaga Negara Tertinggi menetapkan GBHN (Garis Besar Haluan Negara; Broadlines of the State Policy) sebagai Induk Kebijakan Publik (public policy), yang bermuatan luas meliputi semua bidang dan sektor pembangunan nasional, termasuk Bidang HUKUM, yang kemudian berlanjut dengan rincian rencana pelaksanaannya dengan Konsep Repelita (Rencana Pembangunan Nasional Lima Tahunan)
GBHN tersebut, adalah produk politik secara resmi dan transparan dari pihak MPR, yang dapat dibaca secara terbuka oleh semua orang, dan dapat diterjemahkan kedalam berbagai bahasa di dunia (internasional), sehingga orang-orang di negara-negara lainpun tahu bagaimana kondisi penegakan hukum di tanah air kita.
Secara tidak tanggung-tanggung atau tedeng aling-aling, MPR dengan sikap terbuka mengemukakan “perkiraan keadaan di Bidang Hukum” dan diiringi dengan “Konsep arah Kebijakan”
Dari GBHN itu kami citeer sebagai beberapa butir evaluasi sebagai berikut:
  • Di bidang hukum, terjadi perkembangan yang kontroversial, di satu pihak produk materi hukum, pembinaan aparatur, sarana dan prasarana hukum menunjukkan peningkatan, namun di pihak lain tidak diimbangi dengan peningkatan integritas moral dan profesionalitas aparat hukum, kesadaran hukum, sehingga mengakibatkan supremasi hukum belum dapat diwujudkan,
  • Tekad untuk memberantas segala bentuk penyelewengan sesuai dengan tuntutan reformasi seperti Korupsi, Kolusi, Nepotisme (KKN), serta kejahatan ekonomi keuangan dan penyalahgunaan kekuasaan belum mengikuti langkah-langkah nyata dan kesungguhan pemerintah serta aparat penegak hukum dalam menerapkan hukum,
  • Terjadinya campurtangan dalam menerapkan hukum, dan mafia dalam proses peradilan, serta tumpang tindih dan kerancuan hukum mengakibatkan terjadinya krisis hukum,
  • Kondisi hukum yang demikian mengakibatkan perlindungan dan penghormatan Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia masih memperihatinkan yang terlihat dari berbagai pelanggaran hak asasi manusia, antara lain dalam bentuk tindak kekerasan, diskriminasi, dan kesewenang-wenangan,
  • Pembangunan di bidang Pertahanan dan Keamanan, telah menunjukkan kemajuan, meskipun masih mengandung kelemahan,
  • Kepercayaan masyarakat terhadap aparatur TNI dan POLRI melemah, antara lain, karena digunakan sebagai alat kekuasaan, rasa aman dan ketenteraman masyarakat berkurang, terjadi kerusuhan massal dan berbagai pelanggaran Hukum dan HAM.
Demikianlah “monitoring dan evaluasi” terhadap perkembangan Hukum, khususnya “law enforcement” menurut MPR RI dalam GBHN RI, lebih kurang “satu dasawarsa yang lalu.”
Kemudian, sudah bagaimana situasi dan kondisi sekarang ini, sesudah lebih kurang sebelas tahun reformasi berlangsung?

 

 

 

 

 

Menyelesaikan Soal-Soal Ujian Advokat & Penjelasannya

Judul Lengkap: Menyelesaikan Soal-Soal Ujian Advokat & Penjelasannya 







ISBN: 000-000-0000-00-0
Kode Buku: -
Harga: Rp. 75.000.-
Pengarang: Sophia Hadyanto, S.H..M.H














Deskripsi:
A. Tujuan Penulisan
Penulis memilih tema 'Menyelesaikan Soal-Soal Ujian Advokat & Penjelasannya', karena seiring dengan perkembangan penegakan Hukum di Indonesia, ketertarikan banyak sarjana yang berlatar pendidikan tinggi hukum dan praktisi-praktisi hukum terhadap dunia profesi Advokat ini sangat meningkat. Profesi Advokat adalah profesi yang mulia dan terhormat (officium nobile), oleh karena itu, seseorang yang berprofesi Advokat hendaknya memiliki Ilmu di bidang Hukum yang luas dan dalam untuk dapat menjalankan profesinya yang wajib memperjuangkan hak-hak azasi manusia dalam Negara Hukum Indonesia dengan menjunjung tinggi Hukum, Undang-Undang Dasar sebagai instrumen politik pemerintah atau penguasanya untuk Republik Indonesia, Kode Etik Advokat serta sumpah jabatannya.
B. Pendidikan Khusus dan Ujian Advokat
Seseorang yang ingin menyandang profesi Advokat harus mengikuti dua kegiatan yang diselenggarakan oleh Organisasi Advokat, yakni Pendidikan Khusus Profesi Advokat dan Ujian Advokat. Pendidikan Khusus profesi Advokat dalam bentuk kursus ini diatur pelaksanaannya dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, yang menyatakan bahwa: Yang dapat diangkat sebagai Advokat adalah sarjana yang berlatar belakang pendidikan tinggi hukum dan setelah mengikuti pendidikan khusus Advokat yang dilaksanakan oleh Organisasi Advokat.
Pendidikan Khusus untuk calon Advokat ini biasanya diselenggarakan oleh Organisasi Advokat bekerjasama dengan Universitas/Perguruan Tinggi. Dalam kursus Advokat, diberikan materi-materi yang secara luas menggambarkan seluk beluk dunia Advokat. Ujian Advokat dilaksanakan oleh organisasi Advokat di Pusat dan kota-kota di wilayah Indonesia. Penyelenggaraan Ujian Advokat di daerah didasarkan pada pertimbangan rasional jumlah peserta ujian dengan biaya penyelenggaraan Ujian dan berkesinambungannya peserta ujian di daerah tersebut.....